www.wikidata.id-id.nina.az
Wajo juga dieja Wajoʼ Wajok atau Wajoq a merupakan sebuah kerajaan elektif bersuku Bugis yang berkembang di sisi timur semenanjung Sulawesi Selatan Wajo didirikan pada abad ke 15 Masehi dan mencapai puncaknya pada abad ke 18 ketika kerajaan ini menjadi hegemon selama beberapa waktu di Sulawesi Selatan menggantikan Bone Wajo mempertahankan kemerdekaannya hingga dipaksa bergabung dengan Hindia Belanda setelah Ekspedisi Sulawesi Selatan pada awal abad ke 20 Kerajaan ini terus bertahan dalam beragam bentuk hingga pertengahan abad ke 20 ketika daerah swapraja Wajo diubah menjadi Kabupaten Wajo yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Kerajaan Wajoᨕᨀᨑ ᨂ ᨑ ᨓᨍ Akkarungeng ri WajoʼSekitar 1400 1957StatusBagian dari Hindia Belanda 1905 1949 Bagian dari Indonesia 1949 1957 Ibu kotaCinnotabiʼ sekitar 1400 1610 Tosora sekitar 1610 1885 Sengkang sekitar 1885 1957 1 Bahasa yang umum digunakanBugisAgama Tolotang sejak 1400 Islam pada 1610 PemerintahanMonarki elektif konstitusional 2 Era SejarahMasa modern awal Didirikansekitar 1400 Diintegrasikan ke dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda1906 Dibubarkan dan diubah menjadi kabupaten1957Didahului oleh Digantikan olehCinnotabiʼ Kabupaten WajoSekarang bagian dariIndonesiaUntuk kegunaan lain lihat Wajo Pemimpin tertinggi Wajo dipilih melalui musyawarah para perwakilan dari daerah daerah bawahannya Bersama dengan enam orang pejabat tinggi lainnya ia bertugas untuk mengurus pemerintahan sehari hari di Wajo Dewan tertinggi ini masih disokong lagi oleh 33 orang pejabat dari tiga wilayah utama Wajo yang mencakup banyak daerah daerah bawahan dengan penguasa dan adat masing masing Jabatan jabatan pemerintahan ini biasanya dipegang oleh kalangan ningrat selain mereka terdapat pula golongan orang merdeka dan budak dengan hak hak yang lebih sedikit Sebagian besar masyarakat diaspora Bugis pada abad ke 18 dan 19 berasal dari Wajo Perniagaan Wajo maju pesat pada masa ini hingga mampu mencapai tempat tempat yang jauh di berbagai pelosok Asia Tenggara Maritim Kemajuan dalam bidang perdagangan ini disebabkan oleh dukungan politik legal dan finansial yang diberikan oleh sesama masyarakat diaspora maupun oleh pemerintah Wajo di tanah air Daftar isi 1 Sejarah 1 1 Sejarah awal sekitar 1400 1582 1 2 Persekutuan Tellumpoccoe dan Gowa Tallo 1582 1660 1 3 Perang Makassar dan migrasi orang orang Wajo 1660 1730 1 4 La Maddukelleng dan kemelut di Wajo 1730 1795 1 5 Masa akhir dan kemunduran 1795 1905 1 6 Sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda dan Indonesia 1905 1960 2 Pemerintahan 2 1 Pembagian administratif 2 2 Struktur politik 3 Masyarakat dan kebudayaan 3 1 Hak hak dan hierarki sosial 3 2 Keluarga dan gender 3 3 Bahasa dan kesusastraan 4 Perekonomian 5 Lihat pula 6 Keterangan 7 Referensi 7 1 Sitiran 7 2 Daftar pustakaSejarah suntingSejarah awal sekitar 1400 1582 sunting Para ahli menghubungkan kemunculan Wajo dan negeri negeri pedalaman lainnya di Sulawesi Selatan dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan politis pada sekitar abad ke 14 yang didukung oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan 3 4 Populasi naik dengan pesat dan pertanian berbasis peladangan pun digantikan dengan budidaya padi lahan basah intensif Di sepanjang Sulawesi Selatan yang secara geografis berbentuk semenanjung ini hutan hutan dibuka dan permukiman permukiman baru didirikan 5 Orang orang Wajo sendiri mengaitkan asal usul negeri mereka dengan migrasi dan pendirian permukiman permukiman baru Naskah Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ Sejarah Lengkap Wajo misalnya meriwayatkan kisah seorang bangsawan Bugis yang menemukan wilayah dengan tanah terbuka hutan yang berisikan banyak hewan buruan serta danau danau dengan ikan yang berlimpah 6 Ia lalu memutuskan untuk menetap di sana dan mendirikan negeri Cinnotabiʼ 7 yang bertransformasi menjadi Wajo pada awal abad ke 15 8 b Menurut tradisi nama Wajo merujuk pada pohon bajoʼ c tempat penguasa Cinnotabiʼ La Tenribali d mengadakan kontrak sosial dengan ketiga pemimpin di daerah yang disebut Boliʼ yang kemudian menjadi wilayah inti Wajo 13 14 La Tenribali ditunjuk untuk memimpin Boliʼ dengan gelar batara langit 13 Menurut riwayat lontara Batara Wajo ketiga La Pateddungi To Samallangiʼ dipaksa turun takhta oleh rakyatnya karena kelakuannya yang tidak bermoral Ia lalu diusir keluar dari Wajo dan dibunuh dalam perjalanannya oleh seorang bangsawan Wajo 15 Atas prakarsa seorang tokoh Wajo yang bernama La Tiringeng To Taba 16 tata negara Wajo kemudian direformasi dengan pendirian sebuah dewan perwakilan Dewan ini dimpimpin oleh seorang penguasa utama yang diangkat melalui pemilihan bergelar arung matoa raja yang dituakan 17 La Palewo To Palippu dari Bettempola dipilih oleh dewan sebagai arung matoa pertama Wajo 18 Pada masa pemerintahan arung matoa keempat La Tadampareʼ Puang ri Maggalatung menjabat sekitar 1491 1521 19 Wajo menjadi salah satu negeri Bugis yang utama 20 21 Memasuki abad ke 16 Wajo telah mampu mencapai posisi yang relatif lebih tinggi dalam hubungannya dengan Luwu salah satu kekuatan utama di Sulawesi Selatan yang mendominasi tanah Wajo pada abad ke 15 22 23 24 Bersama Luwu Wajo memenangkan perang melawan Sidenreng di Ajatappareng hingga memaksa Sidenreng untuk memberikan sebagian wilayahnya di sebelah utara Danau Tempe kepada Wajo 22 24 Di bawah kepemimpinan La Tadampareʼ Wajo juga menyerap sisa sisa wilayah Cina salah satu negeri Bugis awal yang cukup berpengaruh 25 Keseimbangan kekuasaan di kawasan timur Sulawesi Selatan bergeser kembali pada awal abad ke 16 ketika Bone negeri Bugis di selatan Wajo memenangkan perang melawan Luwu dan menjadi kekuatan paling utama di kawasan tersebut 20 26 27 Pada saat yang sama Gowa dan Tallo kerajaan kembar bersuku Makassar di sebelah barat semenanjung mulai mengembangkan kekuasaannya 28 Pada awal abad ke 16 Gowa bersekutu dengan Bone dalam perang melawan Luwu dan Wajo 29 tetapi pada pertengahan abad ke 16 Gowa dan Bone menjadi lawan dalam perebutan hegemoni Sulawesi Selatan Saat itu Wajo telah jatuh ke dalam lingkup pengaruh Gowa dan mendukung Gowa dalam perangnya melawan Bone pada tahun 1560 an 30 31 Persekutuan Tellumpoccoe dan Gowa Tallo 1582 1660 sunting nbsp Keadaan politik di Sulawesi Selatan pada sekitar akhir abad ke 16Kemajuan Gowa disertai perlakuan keras terhadap negeri Bugis bawahannya yaitu Wajo dan Soppeng Karena itu dalam sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh Bone pada tahun 1582 Wajo dan Soppeng turut menyepakati pakta pertahanan bersama yang dikenal sebagai Perjanjian Timurung 32 Persekutuan ketiga negeri Bugis ini juga dikenal sebagai Tellumpoccoe Tiga Puncak Hubungan antara negeri negeri anggota persekutuan digambarkan serupa kakak beradik Bone sebagai si sulung Wajo sebagai saudara tengah dan Soppeng sebagai bungsunya Persekutuan ini bertujuan untuk meraih kembali kedaulatan tanah Bugis dan menghentikan laju ekspansionisme Gowa 33 34 35 Persekutuan ini berhasil mematahkan serangan Gowa ke Wajo pada tahun 1582 serta serangan ke Bone pada 1585 dan 1588 Satu lagi serangan Gowa pada tahun 1590 batal di tengah jalan menyusul terbunuhnya penguasa Gowa Tunijalloʼ 36 Terlepas dari hambatan ini pada awal abad ke 17 Gowa dan Tallo berhasil menjadi kekuatan paling utama di semenanjung Sulawesi Selatan dengan menyokong perdagangan internasional serta membantu penyebaran agama Islam 37 Antara tahun 1608 dan 1611 pasukan Gowa berhasil menaklukkan negeri negeri di Sulawesi Selatan mengislamkan Soppeng pada 1609 Wajo pada 1610 dan Bone pada 1611 38 39 Setelahnya Tellumpoccoe menyerahkan kendali atas urusan hubungan luar mereka kepada Gowa walaupun mereka diperbolehkan mempertahankan persekutuan tersebut dan masih diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam negeri mereka 33 40 Kebijakan ini ternyata cukup berhasil mengambil hati orang orang Bugis khususnya Wajo yang menjadi semakin setia kepada Gowa Arung Matoa To Mappassaungnge menjabat 1627 1628 41 bahkan menawarkan untuk menjaga ibu kota Gowa ketika penguasanya sedang pergi berperang walaupun ia tidak diharuskan untuk melakukannya 40 Pada masa ini pula orang orang Wajo mulai merantau ke Makassar untuk berdagang bersamaan dengan bertumbuhnya jalur pelayaran dari Danau Tempe ke Teluk Bone melalui muara Sungai Cenrana 42 Wajo kembali terlibat dalam konflik ketika penguasa Bone La Maddaremmeng memerintah 1626 1643 entah dengan alasan politis atau agama menyerang dan menjarah Peneki salah satu daerah bawahan Wajo 33 43 e Karena La Maddaremmeng menolak untuk memberi ganti rugi akibat penjarahannya di Peneki Wajo pun menyatakan perang terhadap Bone 33 Gowa dan Soppeng memihak Wajo dalam konflik ini dan pasukan gabungan mereka berhasil mengalahkan Bone pada akhir 1643 44 45 Bone dihukum keras dengan dijadikan negeri bawahan Gowa 33 dan penguasanya digantikan oleh wali negeri dari kalangan Bone yang memerintah atas nama bangsawan Makassar Sebuah pemberontakan lanjutan dari saudara La Maddaremmeng juga berhasil dipadamkan Status Bone kembali diturunkan menjadi budak jajahan Gowa sementara keluarga bangsawannya ditawan serta dibawa paksa ke Gowa 46 47 Beberapa wilayah sengketa yang dikuasai Bone diambil alih oleh Wajo dan sejumlah besar rakyat Bone dibawa untuk melakukan kerja paksa di Wajo 48 49 Kejadian ini menumbuhkan rasa dendam pada rakyat Bone terhadap Gowa dan Wajo 50 51 Perang Makassar dan migrasi orang orang Wajo 1660 1730 sunting Memasuki perempat kedua abad ke 17 Gowa Tallo menjadi negeri terkuat di Nusantara bagian timur baik secara politik maupun ekonomi Akibat upaya kerajaan kembar ini untuk mempertahankan hegemoni mereka berselisih dengan Perusahaan Hindia Timur Belanda VOC yang ingin memonopoli perdagangan rempah di Kepulauan Maluku 50 52 Pada tahun 1660 VOC menyerang Gowa dan berhasil mengambil alih kendali atas benteng di Paʼnakkukang 53 Gowa lalu memaksa rakyat dari negeri negeri bawahannya untuk bekerja membangun konstruksi militer sebagai antisipasi terhadap konflik lanjutan Kerja paksa ini pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan Bone Arung Palakka 54 Namun usaha Arung Palakka untuk menghidupkan kembali persekutuan Tellumpoccoe gagal karena Wajo menolak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Gowa 50 55 Terlebih lagi Arung Matoa Wajo kala itu La Tenrilai To Sengngeng menjabat 1658 1670 merupakan menantu dari Sultan Gowa Hasanuddin 56 Karena tiadanya dukungan yang cukup pemberontakan ini pun berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Gowa dan Wajo sehingga memaksa Arung Palakka melarikan diri ke Buton sebelum kemudian pergi ke Batavia untuk meminta bantuan dari VOC 57 Selama Perang Makassar 1666 1669 Wajo memberi dukungan penuh bagi Gowa untuk menghadapi VOC serta pasukan pimpinan Arung Palakka dari Bone dan sekutu sekutunya Bahkan ketika istana Gowa di Somba Opu jatuh ke tangan musuh dan Gowa Tallo menyerah secara resmi Arung Matoa La Tenrilai To Sengngeng tetap menolak untuk tunduk kepada Perjanjian Bungaya dan terus memberikan perlawanan kepada pasukan Belanda dan Bone 58 59 Pada pertengahan tahun 1670 Arung Palakka pun melancarkan invasi besar besaran ke tanah Wajo Meski pasukan Arung Palakka mendapati perlawanan yang gigih dari orang orang Wajo benteng ibu kota Wajo di Tosora akhirnya jatuh ke pihak Bone pada Desember 1670 La Tenrilai gugur di medan pertempuran dan penerusnya La Paliliʼ To Malu menjabat 1670 1679 terpaksa menandatangani perjanjian yang membatasi kekuatan politik niaga serta militer Wajo ditambah dengan Perjanjian Bungaya 60 61 Terlepas dari kekalahannya Wajo masih mendapati pembalasan yang keras dari Arung Palakka dan orang orang Bone Banyak orang Wajo yang diculik dirampas barangnya atau dilecehkan seorang Wajo dapat ditampar atau bahkan dibunuh jika tidak menuruti keinginan orang orang Bone 62 Bone juga mencaplok wilayah pesisir di muara Sungai Cenrana yang merupakan satu satunya jalur sungai yang menghubungkan pusat Wajo ke laut 63 Pengaduan Wajo kepada VOC di Makassar mengenai perlakuan semena mena Bone juga tidak digubris 64 65 f Kesulitan yang dihadapi rakyat Wajo di tanah air menjadi pemicu migrasi keluar 63 Walaupun tradisi merantau telah menjadi bagian utama dari budaya Wajo sejak masa pendiriannya tradisi ini semakin menonjol setelah Perang Makassar ketika sejumlah besar orang Wajo bermigrasi ke luar negeri dan menetap di berbagai wilayah seperti Makassar Kalimantan bagian timur Nusa Tenggara dan kawasan sekitar Selat Malaka 63 67 68 Komunitas komunitas rantau ini terhubung baik dengan tanah air mereka maupun kepada sesama komunitas melalui ikatan kekerabatan niaga dan hukum 69 Memasuki abad ke 18 penguasa penguasa Wajo secara berturut turut mulai memanfaatkan jaringan ini untuk membangkitkan negeri mereka kembali Beberapa penguasa misalnya memerintahkan rakyat rakyat Wajo di perantauan untuk membeli senjata demi memperkuat pertahanan Wajo 69 70 Perhatian yang signifikan juga diberikan kepada perniagaan Arung Matoa La Tenriwerrung Puanna Sangngaji menjabat 1711 1713 bahkan menyatakan bahwa hanya dengan mengejar kekayaan lah orang orang Wajo dapat berdiri tegak 69 Penerusnya La Salewangeng To Tenrirua menjabat 1713 1736 mendukung perdagangan internasional dengan cara cara yang lebih praktis 71 Ia mengeruk aliran sungai yang menuju ibu kota Tosora untuk memperlancar akses bagi kapal kapal besar memperkuat industri pertanian dan perikanan dengan meminta mereka menunjuk wakil dalam pemerintahan yang disebut sebagai akkajenangngeng mengadakan jabatan birokrasi baru yang bertugas secara khusus untuk mempromosikan perdagangan serta mendirikan sebuah institusi yang berperan sebagai bank peminjam modal untuk perniagaan dan pertanian sekaligus sebagai badan jaminan sosial 70 71 72 La Maddukelleng dan kemelut di Wajo 1730 1795 sunting Semenjak kematian Arung Palakka pada 1696 tidak ada penerusnya yang mampu mempertahankan hegemoni Bone di kawasan Sulawesi Selatan sebaik dirinya Kekosongan kekuasaan ini membuat perdagangan Wajo dapat tumbuh dengan pesat tanpa halangan yang berarti 73 Interaksi antara komunitas rantau Wajo dan tanah air mereka semakin erat dan memuncak pada tahun 1730 an ketika petualang Wajo La Maddukelleng kembali ke Sulawesi Selatan 74 Awalnya ia dan pengikutnya menyerang permukiman permukiman di bagian barat semenanjung dan pulau pulau sekitar Makassar 75 Pada tahun 1736 ia dinobatkan sebagai penguasa Peneki dan terlibat dalam sebuah konfrontasi dengan Bone Serangan balasan yang dilakukan Bone ke Peneki menyebabkan banyak rakyat Wajo yang menjadi pendukung La Maddukelleng Tak lama kemudian ia pun ditunjuk menjadi arung matoa menjabat 1736 1754 76 g Dengan dukungan luas dari rakyatnya baik di dalam maupun di luar negeri ia membawa Wajo memenangkan perang melawan Bone 77 80 h Pada pertengahan tahun 1737 keduanya menandatangani perjanjian damai dan Bone diharuskan untuk menebus segala kerugian yang diderita Wajo akibat penindasan penguasa penguasa Bone sejak Perang Makassar 81 Setelah terbebas dari dominasi Bone Wajo kini menjadi negeri paling utama di Sulawesi Selatan 77 82 Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ bahkan menyebut bahwa Wajo kala itu diakui sebagai pemimpin Tellumpoccoe 81 Begitu kuatnya Wajo kala itu sehingga pada tahun 1739 La Maddukelleng berani menyerukan agar Tellumpoccoe dan Gowa bersatu untuk mengusir Belanda dari Makassar Akan tetapi ekspedisi ini berakhir dengan kegagalan akibat desersi yang dilakukan oleh sekutu sekutu Wajo Bone bahkan berbalik memihak Belanda 83 84 Pada awal tahun 1741 Belanda bersama Bone dan sekutunya membalas menyerang Wajo dan mengepung ibu kota Tosora Hanya saja cuaca yang tidak mendukung serta keadaan finansial dan moral yang kurang baik menyebabkan Belanda memilih untuk mundur pada bulan Maret 1741 85 nbsp Peta dari pertengahan abad ke 18 yang menggambarkan bagian timur laut semenanjung Sulawesi Selatan termasuk wilayah Wajo utara di sebelah kanan Pada tahun 1740 an sebuah konflik baru muncul La Gau Datu Pammana negeri bawahan Wajo berselisih paham dengan La Maddukkelleng perihal siapa yang berhak mewarisi takhta Sidenreng yang kala itu dikuasai oleh saudara La Gau i Perang saudara kemudian pecah selama berbulan bulan antara pihak yang mendukung La Maddukelleng dan pihak yang mendukung La Gau 87 Walaupun keduanya sempat berdamai La Maddukelleng kembali menyulut peperangan ketika ia secara sepihak memutuskan bahwa wilayah Mojong yang disengketakan oleh Belawa daerah bawahan Wajo dan Sidenreng merupakan milik Belawa Akibat perang berkepanjangan serta kebijakan kebijakan yang sering kali diputuskan sesuka hati tanpa mengindahkan adat La Maddukkelleng pun mulai kehilangan dukungan dari rakyatnya hingga akhirnya ia meletakkan jabatannya pada tahun 1754 88 89 La Maddanaca terpilih untuk menggantikan La Maddukelleng tetapi ia mengundurkan diri satu tahun kemudian sebelum kemudian terbunuh akibat diamuk di Makassar Posisinya digantikan oleh La Passaung 90 Pada masa pemerintahannya Wajo lagi lagi mengalami konflik La Maddukelleng yang sudah tak lagi berkuasa berusaha untuk memengaruhi politik Wajo dengan menulis surat ke dewan pemerintahan untuk memperingatkan mereka agar mewaspadai La Gau yang kala itu masih menjabat sebagai Pilla salah satu dari tiga panglima besar Wajo 91 Perpecahan akibat debat antara La Maddukelleng dan La Passaung mengakibatkan keresahan di Wajo sehingga banyak daerah bawahan yang melepaskan diri La Gau sendiri ditengarai ingin memperkuat negerinya Pammana dan menjadikannya sejajar dengan Wajo Akibat kejadian kejadian ini La Passaung pun mundur dari jabatannya setelah dua tahun memerintah 92 93 La Passaung digantikan oleh La Mappajung Puanna Salowo Belum lama ia dilantik Bone menyatakan perang terhadap Peneki 92 karena La Maddukelleng menolak untuk menyerahkan putranya yang mencuri kuda Arumpone La Temmassonge memerintah 1749 1775 94 Pemerintah pusat Wajo memilih untuk tidak terlibat dalam perang ini dan baru mengirimkan pasukan ke Peneki ketika La Maddukelleng sudah dalam keadaan terpojok 95 La Maddukelleng kemudian diadili oleh Tellumpoccoe pada sekitar tahun 1763 tetapi para utusan dari tiap negara anggota tidak bersepakat mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya untuk segala kesalahan yang telah ia lakukan dan La Maddukelleng pun meninggal sebelum ia sempat mendapatkan hukuman apapun 96 La Mappajung mengundurkan diri setelah tujuh tahun memimpin posisinya digantikan oleh La Malliungeng To Alleong yang juga mengundurkan diri pada tahun 1770 setelah dua tahun memimpin Selama bertahun tahun berikutnya dewan pemerintahan Wajo tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru sehingga posisi tersebut dibiarkan lowong hingga tahun 1795 92 Masa akhir dan kemunduran 1795 1905 sunting Memasuki abad ke 19 agama Islam semakin kuat mengakar di Wajo Arung Matoa La Mallalengeng menjabat 1795 1817 78 memerintahkan agar para pemimpin di pelosok memperbaiki masjid dan surau di daerah masing masing serta meramaikannya dengan kajian kajian Al Qur an dan pembacaan barzanji tiap malam Jumat 92 Di bawah pengaruh ulama yang terinspirasi gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi La Memmang atau La Manang 78 To Appamadeng menjabat 1821 1825 memerangi adat adat yang dianggap takhayul menghancurkan tempat tempat yang disucikan oleh masyarakat pra Islam dan berusaha untuk menerapkan syariat Islam dengan tegas semisal menerapkan hukum cambuk dan potong tangan serta mewajibkan penggunaan hijab walaupun usahanya ini tidak bertahan lama karena penentangan dari rakyatnya 97 Memasuki dekade 1830 an 98 sebuah kemelut perebutan takhta terjadi di negeri Sidenreng yang bertetangga dengan Wajo antara La Pangnguriseng dan saudara tirinya La Patongi Sebagian besar bangsawan Wajo memihak La Patongi yang merupakan cucu dari seorang Ranreng penguasa wilayah Talotenreng 99 tetapi sebagian kecil faksi memihak La Pangnguriseng yang juga didukung oleh Bone Soppeng dan Belanda Meski pada awalnya La Patongi kalah dan tersingkir ia tidak juga melepaskan klaimnya atas takhta Sidenreng 100 Perselisihan ini menjadikan pemerintahan Wajo tidak stabil dan selama bertahun tahun para anggota dewan tidak dapat bersepakat untuk memilih arung matoa yang baru Pengangkatan La Paddengngeng menjabat 1839 1845 sebagai arung matoa tidak banyak mengubah keadaan malah ia memilih pergi ke luar Wajo akibat perselisihannya dengan para Petta Ennengnge enam anggota dewan tertinggi Wajo selain arung matoa dan tidak lagi terlibat dalam politik Wajo hingga akhir hayatnya 98 99 Perang perebutan takhta Sidenreng berlanjut pada masa pemerintahan Arung Matoa La Pawellangi Pajumperoe Ia kemudian digantikan oleh La Cincing Akil Ali saudara kandung La Pangnguriseng Sebagaimana La Paddengngeng La Cincing lebih banyak mengabaikan tugasnya dan menetap di luar Wajo sehingga perselisihan dalam pemerintahan Wajo semakin meningkat bahkan pecah menjadi perang saudara Akibatnya pemerintahan dan penegakan hukum tidak lagi berfungsi dengan baik sehingga aksi kejahatan merajalela di seluruh Wajo 99 Barulah pada masa pemerintahan La Koro 1885 1891 hukuman keras ditegakkan bagi para pelaku kejahatan sehingga orang orang menjadi segan kepadanya Ia juga melakukan reformasi pada bidang militer dengan mengangkat jenderal kolonel serta mayor yang memiliki pasukan tetap 101 Pertikaian yang berlarut larut selama abad ke 19 melemahkan Wajo dan negeri negeri Bugis lainnya sehingga posisi Belanda di Sulawesi Selatan semakin kuat 98 Sepanjang abad ke 19 pula Belanda beberapa kali memerangi Bone untuk membatasi kekuatan sekutu lamanya tersebut Puncaknya pada tahun 1860 Bone terpaksa menandatangani perjanjian yang menurunkan statusnya dari sekutu menjadi negara vasal 102 Mendekati akhir abad ke 19 Belanda mulai melakukan ekspansi untuk menundukkan secara penuh negeri negeri Nusantara yang masih belum berada di bawah naungan Hindia Belanda termasuk di antaranya negeri negeri Sulawesi Selatan 103 Menyusul takluknya Gowa dan Bone pada tahun 1905 Wajo dan Soppeng pun menuruti keinginan Belanda dan menandatangani Korte Verklaring yaitu pernyataan pendek yang mengakui bahwa mereka merupakan negara bawahan yang setia kepada Belanda Wajo dan negeri negeri lainnya berjanji menyerahkan segala urusan luar negeri mereka serta menuruti peraturan dan perintah yang diberikan oleh Kerajaan Belanda melalui pemerintahan kolonial 104 105 Sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda dan Indonesia 1905 1960 sunting nbsp Sungai Walanae di Sengkang pada masa penjajahan BelandaSetelah kematian Arung Matoa Ishak Manggabarani menjabat 1900 1916 Wajo tidak memiliki arung matoa selama satu dekade penuh Selama masa itu terjadi beberapa pertikaian yang melibatkan Arung Peneki sekaligus Datu Larompong La Oddang Dalam salah satu pertempurannya melawan pasukan Bone ibu kota Wajo di Sengkang bahkan sempat dibakar oleh musuh 106 La Oddang naik sebagai arung matoa pada akhir 1926 Pada masa kepemimpinannya dibuatlah pembagian tugas yang jelas serta kantor kantor khusus bagi para Petta Ennengnge 107 sementara jabatan jabatan dewan perwakilan dihapuskan 108 Kepala kepala wanua juga diserahi tugas yang lebih besar untuk mengurus masalah keuangan dan hukum di daerah masing masing Untuk memajukan kesehatan ia juga menempatkan seorang dokter di ibu kota serta pembantu klinik di beberapa wanua 107 Pada masa ini pula Belanda mulai membangun jalan darat menuju Wajo karena jalur perairan dari muara Cenrana sudah tidak lagi kondusif untuk dilalui perahu besar akibat pendangkalan 109 Pasukan Jepang mendarat di Sulawesi Selatan pada 9 Februari 1942 Selama Perang Pasifik tenaga Jepang dipusatkan pada usaha untuk memenangkan perang sehingga Jepang tidak memedulikan pembangunan di Wajo atau negeri Sulawesi Selatan lainnya 110 111 Meski begitu pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan tidak separah di Jawa penduduk setempat tidak harus menjadi romusha walaupun mereka dipaksa untuk menyediakan beras bagi pasukan Jepang 112 Tidak lama setelah Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 Belanda kembali ke Sulawesi Selatan bersama dengan tentara Sekutu 113 Opini di kalangan aristokrat Sulsel pun terbelah sebagian di antaranya mengikuti Arumpone Andi Mappanyukki dengan mendukung pihak pro republik sementara sebagian lagi bersedia bekerja sama dengan Belanda terlebih dahulu Di Wajo Arung Matoa Andi Mangkonaʼ dan sebagian besar pejabat tinggi Wajo memilih untuk bekerja sama 114 Sebagian kecil petinggi Wajo seperti Cakkuridi Andi Makkulau menantu Andi Mappanyukki dan Ranreng Tua Andi Ninnong menentang posisi ini Andi Makkulau mundur ke hutan dan menjadi gerilyawan hingga tertangkap dan dipenjara 115 116 Suami Andi Ninnong terbunuh dalam kampanye pasifikasi Westerling sementara putranya tewas di Jawa saat membantu perjuangan di sana 117 118 Pada Desember 1946 Wajo bergabung ke dalam Negara Indonesia Timur sebagai swapraja di bawah Daerah Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat setelah Konferensi Meja Bundar tahun 1949 115 Arung matoa terakhir Andi Mangkonaʼ meletakkan jabatannya pada 21 November 1949 walaupun Wajo masih terus bertahan sebagai swapraja selama beberapa tahun berikutnya 119 Tatanan masyarakat lama Sulawesi Selatan berubah drastis setelah kemerdekaan Indonesia terutama setelah pemberontakan pemberontakan DI TII yang diprakarsai Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada awal 1950 an 120 Akibat pemberontakan ini banyak orang Wajo yang mengungsi dan merantau ke luar 121 Daerah pesisir dan pegunungan yang jauh dari Sengkang menerima dampak paling parah dalam konflik ini 122 Swapraja Wajo yang tadinya merupakan bagian dari Daerah Otonom Bone di bawah Provinsi Sulawesi diubah menjadi daerah otonom tingkat II setingkat kabupaten pada tahun 1957 Andi Tanjong diangkat sebagai kepala daerah pertamanya 123 Sistem swapraja baru benar benar dihapuskan melalui Undang Undang Nomor 29 Tahun 1959 124 Setahun kemudian seluruh 20 wanua bagian Wajo pun dilebur menjadi sepuluh kecamatan mengikuti sistem pembagian administratif di wilayah Indonesia lainnya 120 125 Pemerintahan suntingPembagian administratif sunting nbsp Wajo dan daerah daerah bawahannya pada tahun 1906Sebagaimana banyak negara Bugis lainnya Wajo merupakan sebuah konfederasi yang terdiri dari gabungan komunitas komunitas politis dan teritorial lebih kecil yang disebut sebagai wanua 126 Setiap komunitas kecil ini memiliki otonomi yang lumayan besar dengan pemimpin serta hukum adat sendiri sendiri 127 Ketika bergabung dengan Wajo baik secara sukarela maupun melalui penaklukan 128 komunitas komunitas ini akan berafiliasi dengan salah satu dari tiga limpo atau bagian utama yaitu Bettempola Tua dan Talotenreng yang merepresentasikan ketiga komunitas pendiri Wajo 129 130 Daerah daerah Wajo terhubung dengan pemerintahan pusat di Tosora dengan status yang berbeda beda mulai dari sebagai negeri jajahan hingga sebagai sekutu junior serupa hubungan kakak beradik 126 131 Sebagian wilayah wilayah ini tidak memiliki perwakilan dalam pemerintahan Wajo semisal daerah Pitumpanua yang terdiri dari gabungan tujuh negeri Sebagian lagi hanya direpresentasikan secara tidak langsung seperti wilayah Paria yang diwakili oleh pemimpin limpo Bettempola 132 Struktur politik sunting Lihat pula Daftar pemimpin Wajo Pemimpin tertinggi Wajo disebut dengan gelar arung matoa 132 Seorang arung matoa dipilih di antara kalangan darah putih atau ningrat 133 Jabatan arung matoa tidak dapat dirangkap dengan jabatan pemerintahan lainnya 134 Jabatan ini juga tidak dapat diwariskan mengikut keturunan dan hanya dapat dipegang seumur hidup sepanjang pemegangnya dianggap layak 135 136 Arung matoa memiliki kekuasaan yang terbatas peran utamanya adalah menjadi simbol pemersatu bagi negerinya sebagai hakim dan panglima perang tertinggi serta sebagai representasi Wajo dalam urusan luar negeri 133 137 138 Penguasa Wajo lazimnya diharapkan untuk tunduk kepada negara dan hukum adat yang telah menggariskan otonomi komunitas komunitas yang dipimpinnya Jika tidak maka ia dapat dipecat dari jabatannya Arung Matoa La Samalewa To Appakiung menjabat 1612 1616 misalnya diturunkan oleh rakyatnya sebab ia disebut telah bersikap semena mena Adat serupa juga dapat ditemukan pada negeri negeri Sulawesi Selatan lainnya walaupun mungkin tidak sekuat di Wajo 127 139 Monarki di Gowa dan Bone menganut sistem keturunan dan penguasa penguasa di sana umumnya cenderung lebih otoriter serupa penguasa zaman feodal di Eropa bila dibandingkan dengan arung matoa di Wajo 127 140 nbsp Struktur pemerintahan WajoDalam menjalankan pemerintahan sehari hari di Wajo arung matoa dibantu oleh tiga pasang pemimpin sipil dan militer yang dikenal secara kolektif sebagai Petta Ennengnge Tuan yang Enam setiap pasangnya mewakili masing masing limpo 141 142 Pemimpin sipil sebuah limpo disebut ranreng sementara pemimpin militernya disebut bate lompo 143 Gelar bagi para bate lompo disesuaikan dengan warna panji yang mereka bawa yaitu Pilla atau Merah bagi Bettempola Patola atau Warna Warni bagi Talotenreng dan Cakkuridi atau Kuning bagi Tua 132 144 Setiap ranreng dan bate lompo dalam Petta Ennengnge memiliki kekuasaan yang setara di antara mereka dan sama besarnya dengan sang arung matoa Meski begitu secara tradisi Pilla Wajo lah yang dianggap sebagai panglima Petta Ennengnge tertinggi di kala perang sementara Ranreng Bettempola dianggap sebagai pejabat Petta Ennengnge tertinggi di kala damai 132 145 Jika posisi arung matoa sedang lowong maka Ranreng Bettempola pula yang mengambil alih tugasnya untuk sementara hingga terpilih arung matoa yang baru 92 146 147 Keseluruhan Petta Ennengnge ditambah dengan arung matoa membentuk dewan pemerintahan tertinggi yang disebut sebagai Petta Wajoʼ Tuan di Wajo 132 143 Petta Wajoʼ merupakan bagian dari dewan perwakilan lebih besar yang terdiri dari 40 anggota juga dikenal sebagai Arung Patappuloe Empat Puluh Raja dengan arung matoa sebagai ketuanya 141 148 Selain dari ketujuh anggota Petta Wajoʼ setiap limpo menyumbang seorang suro atau utusan 4 orang arung mabbicara atau hakim yang memutuskan perkara serta 6 orang arung paddokki rokki atau hakim yang hanya bertugas sebagai penasihat 132 149 setiap perkara dari masyarakat akan diperiksa lebih dahulu oleh mereka sebelum diteruskan ke arung mabbicara 150 Arung mabbicara juga merangkap jabatan sebagai kepala daerah di bawah limpo sementara arung paddokki rokki tidak memegang jabatan lain selain sebagai anggota dewan pemerintahan 151 Keseluruhan anggota dewan hanya berkumpul dalam masa masa tertentu saja termasuk di antaranya saat pemilihan arung matoa yang baru 152 153 Kekuatan Arung Patappuloe diimbangi pula oleh tiga orang punggawa satu dari setiap limpo sebagai perwakilan non ningrat yang dipilih di antara para tetua di daerah 141 142 Para punggawa ini memiliki wewenang yang cukup signifikan Menurut penjelajah Inggris James Brooke 154 Kekuatan para pangawas sic atau tribunes of the people sic lumayan besar Hanya mereka yang berhak memanggil anggota dewan empat puluh untuk melakukan rapat Mereka memiliki hak veto untuk menolak penunjukan aru matoah sic Hanya perintah merekalah yang dapat menjadi panggilan sah untuk berperang tiada pejabat maupun dewan yang mempunyai hak atau bahkan kuasa untuk memanggil rakyat merdeka ke medan pertempuran j Selain memiliki punggawa sebagai perwakilan permanen resmi di dalam pemerintahan tetua tetua uluanang dari kalangan rakyat jelata beserta kepala kepala desa di Wajo dapat pula berkumpul dalam sebuah musyawarah luar biasa yang boleh diadakan jika Arung Patappuloe tidak mencapai kata sepakat dalam membahas sebuah masalah Para rakyat jelata ini dapat bertukar pikiran dan memberi masukan kepada pemerintah mengenai penyelesaian terbaik bagi masalah tersebut walaupun keputusan akhirnya tetap berada di tangan arung matoa 147 155 156 Struktur pemerintahan tiap daerah di Wajo berbeda beda tetapi secara garis besar polanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pusat Arung Paria misalnya hanya bersifat simbolis sementara wewenang pemerintahan ada pada tangan wakilnya yang disebut arung malolo Paria juga dibagi menjadi tiga limpo yang masing masingnya dipimpin oleh sepasang arung dan arung malolo serta beberapa pejabat rendah dengan tugas yang berbeda beda Wilayah Pammana dipimpin oleh seorang datu yang diwakili oleh maddanreng dalam urusan luar daerah perang dan perayaan atau oleh sullewatang dalam urusan daerah dan keadaan gawat Sementara Belawa memiliki dua orang arung satu di wilayah barat dan satu di wilayah timur masing masingnya dibantu oleh seorang sullewatang yang bertindak sebagai panglima perang 157 Di bawah penjajahan tidak langsung yang diberlakukan oleh Belanda Wajo masih diperbolehkan untuk memiliki pemerintahan sendiri walaupun kekuasannya sangatlah terbatas 105 158 Secara praktis seluruh jabatan tinggi Wajo dihapuskan oleh Belanda kecuali jabatan jabatan di dalam Petta Wajoʼ yang kini hanya bersifat simbolis 108 Kekuasaan sebenarnya ada pada kontrolir civiel gezaghebber komandan sipil yang mewakili pemerintah Hindia Belanda 105 158 Namun meski kekuasaan power kalangan aristokrat Sulawesi Selatan pada masa penjajahan berkurang ahli ilmu politik Barbara Sillars Harvey berpendapat bahwa mereka masih memiliki wewenang authority yang signifikan sehingga para pamong praja Belanda masih memerlukan kerja sama mereka untuk memastikan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah kolonial 159 k Masyarakat dan kebudayaan suntingLihat pula Suku Bugis Hak hak dan hierarki sosial sunting nbsp Pepatah Wajo mengenai kemerdekaan yang kini dijadikan semboyan Kabupaten Wajo maradeka to Wajoʼe adeʼna napopuang orang orang Wajo itu merdeka hanya adatnya yang dipertuan oleh mereka Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa Wajo memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak hak kebebasan bila dibandingkan dengan masyarakat pra modern Asia manapun 160 l Naskah naskah Wajo selalu menekankan bahwa orang orang Wajo itu merdeka dan bahwa tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama Konsep hak hak kemerdekaan Wajo mencakup antara lain jaminan keselamatan pribadi dan kepemilikan akses terhadap keadilan serta kebebasan untuk berpendapat bergerak dan membuat kontrak 161 162 163 164 Dalam sumber sumber Wajo disebutkan bahwa hak hak kemerdekaan ini adalah adat turun temurun yang sudah demikian adanya 20 sehingga seorang arung matoa sekalipun tidak boleh menentangnya Ketika seorang arung matoa dilantik ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak hak ini 164 165 Walaupun begitu hak hak kemerdekaan ini memiliki batasan dan tidak berlaku sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo Kalangan budak tidak memiliki hak yang sama dengan kalangan orang merdeka apalagi kalangan ningrat 166 167 Secara garis besar masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan 1 bangsawan atau ningrat 2 orang merdeka dan 3 budak Golongan golongan ini bukanlah kasta turun temurun dengan batas batas yang jelas karena pernikahan tidak dibatasi sesama golongan endogami saja 168 Seseorang dapat diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar utang Perbudakan dapat bersifat turun temurun anak dari sepasang budak akan dianggap budak pula Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang merdeka 169 Golongan ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki darah putih Hanya saja karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan dan nasab diturunkan secara bilateral dari kedua orang tua masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks berdasarkan seberapa murni darah putih yang dimiliki oleh seseorang 168 169 Tingkat tertinggi disebut sebagai anaʼmatola putra putri mahkota yang mencakup orang orang dengan kemurnian darah tertinggi termasuk di antaranya para arung matoa dan anggota Petta Ennengnge Di bawah mereka ada golongan anakarung anak penguasa yang mencakup bangsawan bangsawan rendah termasuk di antaranya para arung atau penguasa negeri negeri bawahan Wajo Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian dari kalangan ningrat Tingkat berikutnya disebut tau deceng orang baik baik yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah bangsawan setingkat di atas kalangan tau maradeka orang merdeka atau tau sama orang setara Golongan ata atau budak baik yang turun temurun maupun akibat dihukum berada di posisi paling bawah 170 171 m Keluarga dan gender sunting Wanita Bugis di negara negara Sulawesi Selatan pada masa prakolonial terlibat secara rutin di dalam banyak aspek kemasyarakatan John Crawfurd penjelajah Skotlandia dari abad ke 18 menyebutkan bahwa mereka juga sering kali dinobatkan sebagai penguasa bahkan jikapun posisi tersebut bersifat elektif 174 Menurut sejarawan Stephen C Druce dalam hal representasi wanita dalam pemerintahan negeri negeri Bugis kala itu lebih maju dibandingkan dengan negeri negeri Eropa Penjelajah Inggris James Brooke yang kelak menjadi Raja Sarawak mencatat bahwa seluruh jabatan tinggi di Wajo dapat diduduki oleh wanita 175 176 Bahkan Brooke menyatakan bahwa saat ia berada di Wajo pada tahun 1840 empat dari enam anggota Petta Ennengnge merupakan wanita yang sering kali tampil di depan publik layaknya para pria berkuda memerintah dan bahkan mengunjungi orang orang asing tanpa perlu memberitahu atau meminta izin pada suami suami mereka 174 176 n Bahasa dan kesusastraan sunting Bahasa Bugis adalah salah satu penanda utama identitas masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan walaupun terdapat perbedaan dialek antara tiap tiap daerah Penutur dialek Wajo secara umum masih dapat memahami dialek yang digunakan di wilayah inti Soppeng Bone dan Sidenreng walaupun orang Wajo agak kesulitan dalam memahami ragam tertentu seperti dialek di Tellu Lupu Bone dan dialek Sinjai 177 Sejak awal abad ke 15 bahasa Bugis mulai dipakai untuk mencatat sejarah dan silsilah menggunakan aksara Lontara yang merupakan turunan Brahmi 178 179 Namun meski menggunakan sistem penulisan yang diturunkan dari aksara asal India Sulawesi Selatan tidak pernah mengalami Indianisasi seperti kebanyakan wilayah lain di Nusantara yang memiliki budaya menulis sebelum masa modern 180 181 Selama setidaknya dua abad sebelum agama Islam dipeluk secara luas pada sekitar tahun 1600 literatur Sulawesi Selatan secara garis besar terbebas dari pengaruh luar dan memberikan gambaran masyarakat Austronesia pra modern yang jarang sekali dapat ditemui 182 Wajo merupakan salah satu negeri Bugis yang memiliki tradisi penulisan sejarah yang kaya dengan beragam versi attoriolong atau kronik Salah satu sumber sejarah utama Wajo pada masa modern awal Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ tergolong sangat panjang dan mendetail bila dibandingkan dengan kronik Bugis pada umumnya yang hanya berisi ringkasan riwayat pemerintahan setiap arung matoa Menurut tradisi kronik ini disusun oleh Ranreng Bettempola La Sangaji berdasarkan kumpulan catatan sejarah pada masa pemerintahan Arung Matoa La Mappajung 1764 1767 walaupun ada kemungkinan bahwa penyusunan ini baru diselesaikan di kemudian hari 183 Perekonomian sunting nbsp Nelayan di Danau Tempe ujung barat wilayah Wajo pada tahun 1940 anSebagian besar rakyat Wajo tinggal di kawasan subur tepi danau di pedalaman semenanjung 184 Sama sebagaimana masyarakat Bugis lainnya kebanyakan dari mereka mencari penghidupan dengan bercocok tanam beras dan jagung adalah dua jenis tumbuhan utama yang dibudidayakan oleh orang Wajo Selain menjadi petani banyak pula orang Wajo yang menjadi nelayan dengan wilayah operasi di perairan air tawar di pedalaman atau di sekitar wilayah pantai 185 Wajo juga memiliki tradisi berniaga yang paling kuat di antara orang orang Bugis Wilayah pedalaman subur di pusat Wajo terhubung dengan laut melalui Sungai Cenrana yang dapat dilalui kapal besar walaupun sejak abad ke 19 sungai ini berangsur angsur mendangkal 186 Keadaan geografis ini mendukung keterlibatan aktif orang Wajo dalam perdagangan maritim 187 Sebagian besar pedagang Bugis rantau sejak akhir abad ke 17 hingga akhir abad ke 19 berasal dari Wajo 188 Pada masa ini perantau perantau Bugis bertindak sebagai perantara bagi pedagang dari negeri negeri besar dan kecil di kawasan Asia Tenggara Maritim 68 Perniagaan orang orang Wajo menjangkau hampir seluruh pusat perdagangan di kawasan ini 184 baik yang dekat di Sulawesi seperti Makassar Mandar dan Buton serta Kalimantan seperti Paser Banjarmasin dan Berau maupun yang jauh di Papua Sumatra Semenanjung Malaya bahkan Kamboja 68 188 189 Barang yang diperdagangkan oleh orang orang Wajo mencakup beras kain rempah intan emas hingga tembakau Selain barang terdapat pula bukti perdagangan hewan ternak terutama dengan Kalimantan Timur dan perdagangan budak juga tampaknya cukup signifikan 190 Praktik praktik perniagaan Wajo menurut sejarawan Hans Hagerdal dapat dianggap sebagai paralel dari konsep kapitalisme dagang yang berkembang di Eropa 191 Jaringan perdagangan Wajo berkembang pesat selama abad ke 18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda 192 193 perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat penyelundupan tekstil India oleh pedagang pedagang Wajo yang mampu menghindari monopoli Belanda 194 195 Pedagang pedagang Wajo juga sering kali berkolaborasi dengan Inggris yang merupakan saingan Belanda Pada tahun 1824 bandar Inggris di Singapura disinggahi oleh 90 kapal dagang dari Wajo dan jumlah ini bertambah menjadi 120 pada tahun berikutnya 195 Menurut laporan John Crawfurd pada tahun 1820 an saja jumlah perantau Wajo di Singapura telah mencapai sekitar 2 000 hingga 3 000 jiwa 184 Kehadiran pedagang pedagang Wajo merupakan salah satu kunci utama keberhasilan komersial Singapura sebagai bandar persinggahan 195 Ekspansi perdagangan Wajo pada abad ke 18 dan 19 juga berdampak pada meningkatnya kemakmuran di tanah Wajo serta menyokong pertumbuhan penduduk pada permukiman berbasis niaga di sepanjang jalur pelayaran menuju laut Lagosi bandar utama Wajo di pedalaman misalnya diperkirakan memiliki lebih dari 15 000 penduduk pada sekitar tahun 1840 196 o Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas komunitas Wajo di perantauan 198 Pemimpin pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke 18 menghasilkan kodifikasi hukum yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang orang Wajo atau yang lazim dikenal sebagai Undang Undang Amanna Gappa 199 p Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman modal uang maupun barang pembagian untung rugi warisan hak hak penumpang kapal dagang hingga perlindungan properti 201 Aturan aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang pedagang Wajo 202 Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen hukum semacam ini sangat tidak lazim kalau tidak dapat dikatakan unik untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal 203 q Catatan Wajo dari abad ke 18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu 202 Pemerintah Wajo memberi dukungan dalam bentuk kebijakan kebijakan yang mendorong kemajuan ekonomi Pada awal abad ke 18 misalnya Arung Matoa La Salewangeng memerintahkan para petani untuk menyisihkan sebagian beras hasil panen mereka untuk disimpan di dalam lumbung yang dikelola pemerintah Beras ini kemudian digunakan untuk memberi makan orang orang yang membutuhkan serta sebagai cadangan pangan dalam masa paceklik Sebagian pendapatan pajak dalam bentuk uang juga disisihkan sebagai dana yang dimiliki secara bersama Dana ini dapat digunakan untuk keperluan investasi dalam bidang pertanian dan perdagangan atau untuk keperluan jaminan sosial 71 Pemerintah dapat meminjamkan dana tersebut kepada rakyat yang ingin memulai usaha dengan syarat pinjaman tersebut dikembalikan berikut sepertiga dari keuntungan mereka Hasil keuntungan ini kemudian digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan gudang senjata serta renovasi masjid negara Sistem ini memungkinkan rakyat Wajo dengan sumber daya terbatas untuk ikut terlibat dalam perniagaan sekaligus memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kemaslahatan masyarakat Wajo secara keseluruhan 72 204 205 Lihat pula suntingSejarah awal Gowa dan TalloKeterangan sunting Hentian glotal dalam bahasa Bugis dan bahasa bahasa Sulawesi Selatan dieja secara bervariasi dengan q k ʼ atau dibiarkan tidak ditulis Artikel ini menggunakan ʼ untuk merepresentasikan hentian glotal e untuk bunyi pepet dan e untuk e dalam bahasa Bugis Pengecualian diberikan bagi nama yang sudah lazim dikenal dengan ejaan tertentu dalam bahasa Indonesia misalnya Wajo alih alih Wajoʼ dan Bone alih alih Bone Kisah asal usul Wajo ini kontras dengan mitos pendirian negeri negeri Sulawesi Selatan lainnya yang umumnya diawali dengan kedatangan seorang tomanurung 9 10 Umumnya diidentifikasi sebagai tumbuhan dari genus Macaranga 11 Juga dikenal sebagai La Tenriba atau La Tenribabbareng dalam beberapa naskah 12 La Maddaremmeng sebelumnya telah memicu kontroversi sebab ia disebutkan menerapkan agama Islam dengan lebih tegas kepada rakyatnya Ia juga menghapuskan perbudakan kecuali yang berdasarkan keturunan dan memaksa anggota Tellumpoccoe yang lain untuk mengikuti langkahnya Upaya Bone untuk menyebarkan pengaruh agamanya kepada negeri Bugis yang lain ditanggapi negatif oleh Gowa sebab bagi Gowa ini merupakan penentangan terhadap hegemoninya di Sulawesi Selatan 33 44 45 Ketika itu VOC menghindari untuk berselisih dengan Arung Palakka sebab ia merupakan sekutu yang terlalu penting Apalagi VOC juga memerlukan bantuan militernya dalam Pemberontakan Trunajaya 1678 1680 yang melibatkan VOC di Jawa 64 66 Ahli bahasa dan sejarawan Jacobus Noorduyn 1972 menyebut 1737 1754 sebagai masa jabatannya 77 tetapi menurut sejarawan Andi Zainal Abidin 1985 dan Kathryn Wellen 2014 ia dilantik sebagai arung matoa pada tanggal 6 November 1736 78 79 Sumber sumber Wajo menyebut bahwa La Salewangeng mundur secara sukarela dan menunjuk langsung La Maddukelleng sebagai penerusnya walaupun surat semasa dari Arung Timurung Bone dan Datu Baringeng Soppeng kepada VOC menyebut bahwa La Maddukelleng naik takhta dengan mengudeta pendahulunya 76 Sumber sumber Bugis menyebutkan bahwa perantau perantau Wajo dari segala penjuru termasuk di antaranya Paser Sumbawa dan Makassar memberikan bantuan keuangan persenjataan serta tenaga militer yang signifikan dalam perang ini 80 Menurut sumber sumber Bugis La Gau bersikeras bahwa sepanjang ia masih hidup hanya keluarganya saja yang dapat bertakhta di Sidenreng Mendengar hal ini La Maddukelleng marah besar dan menitahkan agar penguasa Sidenreng diganti hari itu juga Alih alih menerima dan menjalankan perintah La Maddukelleng Sidenreng menolak untuk menyerah dan balik menantang sang arung matoa 86 Terjemahan bebas kutipan asli sebagai berikut The powers of these pangawas or tribunes of the people is considerable With them only it rests to summon a meeting of the council of forty They possess the right of veto to the appointment of an aru matoah Their command alone is a legal summons to war no chief or body having right or even authority to call the freemen to the field 154 Kutipan asli The traditional rulers did not have the power to act on their own initiative without the approval of the Dutch administration the colonial civil servants lacked authority over the population and were dependent on the cooperation of the local aristocracy to ensure compliance of the people to government orders 159 Kutipan asli Wajo offers more evidence than any other pre modern Asian society so far analysed for institutionalised freedoms 160 Untuk pembagian tingkatan yang lebih detail baca artikel Pelras 1971 172 dan Bab II dalam disertasi Lineton 1975 173 Kutipan asli All the offices of state are open to women and they actually fill the important post of government four out of the six great chiefs of Wajo being at present females These ladies appear in public like the men ride rule and visit even foreigners without the knowledge or consent of their husbands 176 Sebagai perbandingan penduduk Makassar dan pulau pulau kecil di sekitarnya pada tahun 1828 berjumlah sebanyak 19 007 jiwa 197 Amanna Gappa sendiri merupakan pemimpin matoa komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu menjabat 1697 1723 200 Kutipan asli Such a law code is highly unusual if not unique for early modern insular Southeast Asia 203 Referensi suntingSitiran sunting Duli 2010 hlm 144 Abidin 1985 hlm 498 Druce 2009 hlm 34 36 Pelras 1996 hlm 100 103 Pelras 1996 hlm 98 100 Wellen 2014 hlm 27 Abidin 1985 hlm 348 359 Wellen 2014 hlm 24 Pelras 1971 hlm 178 Hafid 2016 hlm 510 515 Abidin 1985 hlm 403 Abidin 1985 hlm 399 a b Abidin 1983 hlm 477 478 Wellen 2014 hlm 25 114 Abidin 1983 hlm 478 Halim 2016 hlm 196 197 Wellen 2014 hlm 174 Abidin 1983 hlm 479 482 Abidin 1985 hlm 575 a b c Wellen 2014 hlm 28 Pelras 1996 hlm 112 113 a b Druce 2009 hlm 228 Andaya 1981 hlm 21 a b Pelras 1996 hlm 113 114 Caldwell amp Wellen 2017 hlm 306 319 Andaya 1981 hlm 22 Pelras 1996 hlm 114 Andaya 1981 hlm 24 Andaya 1981 hlm 23 Pelras 1996 hlm 116 131 132 Andaya 1981 hlm 30 Pelras 1996 hlm 132 133 a b c d e f Wellen 2014 hlm 29 Andaya 1981 hlm 30 31 Druce 2009 hlm 249 Andaya 1981 hlm 31 Wellen 2014 hlm 29 177 Andaya 1981 hlm 33 Pelras 1996 hlm 136 137 a b Andaya 1981 hlm 37 38 Abidin 1985 hlm 576 Pelras 1996 hlm 140 141 Andaya 1981 hlm 40 a b Andaya 1981 hlm 39 40 a b Pelras 1996 hlm 142 Andaya 1981 hlm 41 42 Pelras 1996 hlm 142 143 Wellen 2014 hlm 29 30 Andaya 1981 hlm 42 43 a b c Wellen 2014 hlm 30 Andaya 1981 hlm 43 Andaya 1981 hlm 45 47 Andaya 1981 hlm 49 Andaya 1981 hlm 50 52 Andaya 1981 hlm 54 Andaya 1981 hlm 55 Andaya 1981 hlm 56 59 66 Wellen 2014 hlm 31 32 Andaya 1981 hlm 37 1242126 138 Wellen 2014 hlm 33 35 Andaya 1981 hlm 140 141 Wellen 2014 hlm 36 a b c Andaya 1981 hlm 143 a b Wellen 2014 hlm 37 38 Andaya 1981 hlm 142 143 Andaya 1981 hlm 142 143 190 192 205 Wellen 2009 hlm 38 82 a b c Lineton 1975b hlm 178 a b c Wellen 2009 hlm 82 a b Duli 2010 hlm 144 145 a b c Wellen 2009 hlm 82 83 a b Noorduyn 1955 hlm 126 Wellen 2014 hlm 30 69 Wellen 2014 hlm 137 Wellen 2018 hlm 55 a b Wellen 2018 hlm 56 a b c Noorduyn 1972 hlm 61 a b c Abidin 1985 hlm 577 Wellen 2014 hlm 145 a b Wellen 2014 hlm 135 137 144 159 a b Wellen 2018 hlm 57 Wellen 2014 hlm 137 158 159 Wellen 2014 hlm 145 150 Patunru 1983 hlm 62 64 Wellen 2014 hlm 150 153 Wellen 2018 hlm 58 59 Wellen 2018 hlm 59 60 Wellen 2014 hlm 154 Patunru 1983 hlm 64 Patunru 1983 hlm 65 66 Wellen 2018 hlm 61 a b c d e Patunru 1983 hlm 66 Wellen 2018 hlm 61 62 Wellen 2014 hlm 155 Wellen 2018 hlm 66 69 Wellen 2018 hlm 67 69 Pelras 1993 hlm 149 a b c Druce 2020 hlm 87 a b c Patunru 1983 hlm 68 Druce 2020 hlm 86 88 Patunru 1983 hlm 69 Harvey 1974 hlm 46 Harvey 1974 hlm 48 50 Harvey 1974 hlm 49 50 52 a b c Patunru 1983 hlm 71 Patunru 1983 hlm 72 73 a b Patunru 1983 hlm 73 75 a b Lineton 1975a hlm 119 120 Lineton 1975a hlm 46 47 Patunru 1983 hlm 75 Harvey 1974 hlm 110 111 Harvey 1974 hlm 116 117 125 126 Patunru 1983 hlm 76 Harvey 1974 hlm 139 140 143 148 155 157 a b Patunru 1983 hlm 77 Harvey 1974 hlm 148 156 157 Patunru 1983 hlm 76 77 Harvey 1974 hlm 157 Patunru 1983 hlm 78 a b Lineton 1975a hlm 116 Lineton 1975a hlm 23 24 Lineton 1975a hlm 49 Patunru 1983 hlm 80 Harvey 1974 hlm 382 Patunru 1983 hlm 82 a b Pelras 1996 hlm 176 177 a b c Wellen 2014 hlm 22 Wellen 2018 hlm 50 Wellen 2018 hlm 49 50 Pelras 1996 hlm 177 178 Wellen 2014 hlm 23 24 a b c d e f Wellen 2014 hlm 23 a b Pelras 1971 hlm 170 Patunru 1983 hlm 17 Abidin 1985 hlm 465 535 Halim 2016 hlm 193 194 Patunru 1983 hlm 19 Mundy 1848 hlm 62 Abidin 1985 hlm 385 Pelras 1971 hlm 175 176 a b c Abidin 1983 hlm 482 a b Henley amp Caldwell 2019 hlm 245 a b Pelras 1996 hlm 178 Abidin 1985 hlm 485 Noorduyn 1955 hlm 62 165 Abidin 2017 hlm 158 a b Mundy 1848 hlm 63 Wellen 2014 hlm 23 165 Pelras 1971 hlm 172 Hafid 2016 hlm 513 516 Abidin 2017 hlm 151 153 Wellen 2014 hlm 23 175 Wellen 2018 hlm 51 a b Mundy 1848 hlm 62 63 Henley amp Caldwell 2019 hlm 246 Pelras 1971 hlm 174 Pelras 1971 hlm 173 a b Harvey 1974 hlm 64 a b Harvey 1974 hlm 99 a b Reid 2016 hlm 313 Reid 1998 hlm 148 Abidin 1985 hlm 433 447 448 Henley amp Caldwell 2019 hlm 247 a b Pelras 1971 hlm 174 175 Reid 1998 hlm 148 149 Lineton 1975a hlm 87 121 Pelras 1971 hlm 185 a b Lineton 1975a hlm 84 85 a b Pelras 1971 hlm 184 Lineton 1975a hlm 85 86 Pelras 1971 hlm 186 Pelras 1971 Lineton 1975a a b Henley amp Caldwell 2019 hlm 250 Druce 2020 hlm 85 86 a b c Mundy 1848 hlm 75 Wellen 2014 hlm 109 110 Caldwell 1988 hlm 169 171 Pelras 1996 hlm 96 97 Caldwell 1995 hlm 402 403 Wellen 2014 hlm 112 Wellen 2014 hlm 13 Wellen 2014 hlm 13 172 a b c Lineton 1975a hlm 17 Lineton 1975a hlm 20 Lineton 1975a hlm 45 46 Lineton 1975a hlm 16 17 a b Reid 1998 hlm 147 Wellen 2014 hlm 70 Wellen 2014 hlm 70 71 Hagerdal 2015 hlm 51 Ammarell 2002 hlm 57 Lineton 1975a hlm 18 Wellen 2014 hlm 85 a b c Druce 2020 hlm 82 83 Lineton 1975a hlm 19 Sutherland 2015 hlm 143 Wellen 2014 hlm 67 68 Wellen 2014 hlm 64 65 Noorduyn 2000 hlm 476 479 Wellen 2009 hlm 84 90 a b Wellen 2014 hlm 71 a b Wellen 2009 hlm 84 Wellen 2009 hlm 82 83 97 Wellen 2014 hlm 76 Daftar pustaka sunting Abidin Andi Zainal 1983 The emergence of early kingdoms in South Sulawesi A preliminary remark on governmental contracts from the thirteenth to the fifteenth century Southeast Asian Studies 20 4 455 491 1985 Wajo pada Abad XV XVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara Bandung Penerbit Alumni OCLC 12901929 2017 Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan Makassar Social Politic Genius ISBN 9786026183323 Ammarell Gene 2002 Bugis migration and modes of adaptation to local situations Ethnology 41 1 51 67 doi 10 2307 4153020 JSTOR 4153020 Andaya Leonard Y 1981 The Heritage of Arung Palakka A History of South Sulawesi Celebes in the Seventeenth Century Ann Arbor University of Michigan Press ISBN 9789024724635 Caldwell Ian 1988 South Sulawesi A D 1300 1600 Ten Bugis Texts Tesis disertasi PhD Canberra Australian National University 1995 Power State and Society Among the Pre Islamic Bugis Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde 151 3 394 421 doi 10 1163 22134379 90003038 JSTOR 27864678 Wellen Kathryn Anderson 2017 Finding Cina A new paradigm for early Bugis history Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde 173 2 3 296 324 doi 10 1163 22134379 17302004 nbsp Duli Akin 2010 Peranan Tosora sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Wajo abad XVI XIX Walennae 12 2 143 158 Druce Stephen C 2009 The Lands West of the Lakes A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE Leiden Brill ISBN 9789004253827 2020 Of Native Concerns Brooke the Bugis and Borneo Dalam Ooi Keat Gin Borneo and Sulawesi Indigenous Peoples Empires and Area Studies London Routledge hlm 78 93 ISBN 9780429430602 Hafid Rosdiana Budaya politik Kerajaan Wajo Walasuji Jurnal Sejarah dan Budaya 7 2 505 520 doi 10 36869 wjsb v7i2 147 Hagerdal Hans 2015 The Open Door Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora review HumaNetten 35 50 52 Halim Wahyuddin 2016 Eksplorasi Atas Praktik dan Nilai Nilai Demokrasi Dalam Kerajaan Wajo Abad ke 15 16 dan Kompatibilitasnya Dengan Sistem Demokrasi Modern Masyarakat dan Budaya 18 2 187 202 doi 10 14203 jmb v18i2 410 Harvey Barbara Sillars 1974 Tradition Islam and Rebellion South Sulawesi 1950 1965 Tesis disertasi PhD Cornell University Henley David Caldwell Ian 2019 Precolonial citizenship in South Sulawesi PDF Citizenship Studies 23 3 240 255 doi 10 1080 13621025 2019 1603271 Lineton Jacqueline 1975a An Indonesian society and its universe A study of the Bugis of South Sulawesi Celebes and their role within a wider social and economic system Tesis disertasi PhD School of Oriental and African Studies University of London 1975b Pasompe Ugi Bugis migrants and wanderers Archipel 10 173 201 doi 10 3406 arch 1975 1248 Mundy Rodney ed 1848 Narrative of Events in Borneo and Celebes Down to the Occupation of Labuan From the Diaries of James Brooke Esq 1 London John Murray Noorduyn Jacobus 1955 Een Achttiende Eeuwse Kroniek van Wadjo Buginese Historiografie s Gravenhage H L Smits 1972 Arung Singkang 1700 1765 How the victory of Wadjo began PDF Indonesia 13 13 61 68 doi 10 2307 3350682 JSTOR 3350682 2000 The Wajorese merchants community in Makassar Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde 156 3 473 498 doi 10 1163 22134379 90003836 Patunru Abdurrazak Daeng 1983 1964 Sejarah Wajo Ujung Pandang Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan OCLC 215821862 Pelras Christian 1971 Hierarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo Archipel 1 169 191 doi 10 3406 arch 1971 930 1993 Religion tradition and the dynamics of Islamization in South Sulawesi PDF Indonesia 57 1 133 154 doi 10 2307 3351245 JSTOR 3351245 1996 The Bugis Oxford Blackwell Publishers ISBN 9780631172314 Reid Anthony 1998 Merdeka The Concept of Freedom in Indonesia Dalam David Kelly Anthony Reid Asian Freedoms The Idea of Freedom in East and Southeast Asia Cambridge Cambridge University Press hlm 141 160 ISBN 9780521637572 2016 The Open Door Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora review Journal of Southeast Asian Studies 47 2 312 315 doi 10 1017 S002246341600014X Sutherland Heather 2015 Pursuing the Invisible Makassar City and Systems Dalam David Henley Henk Schulte Nordholt Environment Trade and Society in Southeast Asia A Longue Duree Perspective Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde 300 Leiden dan Boston Brill hlm 133 148 ISBN 9789004288058 Wellen Kathryn Anderson 2009 Credit among the Early Modern To Wajoq Dalam David Henley Peter Boomgaard Credit and Debit in Indonesia From Peonage to Pawnshop from Kongsi to Cooperative Leiden KITLV Press hlm 102 123 ISBN 9789067183505 2014 The Open Door Early Modern Wajorese Statecraft and Diaspora DeKalb Northern Illinois University Press ISBN 9780875807126 2018 La Maddukelleng and Civil War in South Sulawesi Dalam Michael Charney Kathryn Wellen Warring Societies of Pre Colonial Southeast Asia Local Cultures of Conflict Within a Regional Context Studies on Asian Topics 62 Kopenhagen NIAS Press hlm 47 71 ISBN 9788776942281 Diperoleh dari https id wikipedia org w index php title Kerajaan Wajo amp oldid 24815031