www.wikidata.id-id.nina.az
Suku Keo Ata Keo adalah kelompok etnis yang mendiami bagian tengah selatan Pulau Flores Indonesia Mereka menghuni kawasan sekitar lereng Gunung Ebulobo bagian selatan meliputi sebagian wilayah Boawae Mauponggo Gunung Koto di Keo Tengah dan Kedi Diru di Nangaroro 2 Masyarakat Keo memiliki hubungan kekerabatan dengan etnis Nage yang berada di sebelah utaranya 3 KeoAta KeoRadja Roga Ngole kiri depan dari Nage Keo dengan seekor kerbau yang akan dikorbankan pada upacara panen di Boawae sekitar tahun 1920 an Jumlah populasi40 000 2001 1 Daerah dengan populasi signifikanPulau Flores Nagekeo BahasaKeo IndonesiaAgamaMayoritas Katolik minoritas Islam Protestan dan kepercayaan asliKelompok etnik terkaitNage Ngada Lio Daftar isi 1 Sejarah 1 1 Masa kolonial Belanda 1 2 Masa pemerintahan Indonesia 2 Populasi 3 Budaya 3 1 Kain tenun 4 Lihat juga 5 ReferensiSejarah suntingMasa kolonial Belanda sunting nbsp Peta sebaran kelompok etnis dan bahasa di Pulau Flores dan pulau pulau kecil sekitarnya wilayah suku Keo terletak di sebelah selatan suku Nage Dalam publikasi Belanda nama Keo Keo tertulis dalam laporan Freijss 1860 untuk menjelaskan sekelompok penduduk nelayan yang berdomisili di sepanjang pantai selatan Flores bagian tengah yang membedakannya dengan penduduk dari suku Nage yang berkerabat dekat Pada saat yang sama Freijss mencatat tentang Puncak Keo Keopiek yang dimaksudkannya adalah Ebu Lobo dan Teluk Keo Menurut catatan sejarah dan tuturan lisan jauh sebelum ada misionaris dan pedagang Eropa Portugis dan Belanda di Flores sesungguhnya nama Keo itu telah dikenal oleh para misionaris Dominikan dari Portugis yang telah menjelajahi kawasan itu pada abad ke 16 untuk mewartakan Injil hingga menjangkau beberapa stasi di kawasan Keo seperti stasi Kewa Mari dan Lena Dalam berbagai literatur Belanda hingga abad ke 19 nama Keo nampaknya selalu menjadi rujukan untuk seluruh kawasan yang dihuni oleh suku Keo dan Nage Intervensi kolonial Belanda di kawasan ini sesungguhnya jauh kemudian pada tahun 1907 dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia Ketika tiba di Nusantara termasuk di Keo para pejabat kolonial Belanda mulai melakukan restrukturisasi bentuk pemerintahan lokal sesuai bentuk administrasi kolonial dengan merujuk pada struktur organisasi asli masyarakat adat Transisi dan perubahan sistem administrasi sering dilakukan karena para penguasa asing itu sering mengalami kesulitan untuk menyelaraskan sistem asing dengan sistem adat setempat Namun sejak tahun 1920 an situasi politik berubah dan pemerintah Belanda mulai terbuka untuk mendengar para penguasa adat lokal Seluruh kepulauan Nusantara Indonesia dibagi ke dalam gewesten atau provinsi yang dikepalai oleh governeur atau residen 2 Di Kepulauan Sunda Kecil beberapa penguasa lokal dengan sistem penguasa asli setempat yang dikenal dengan nama tetua adat adathoofden atau mosalaki dan pengawas atau pengatur tanah grondvoogden atau ine tana ame watu difungsikan oleh pemerintah kolonial Hingga tahun 1910 an pemerintah kolonial Belanda sering memandang Keo sebagai kawasan dengan masyarakat yang keras kepala sulit diperintah dikuasai dan diatur Kesan itu timbul karena di wilayah Keo pada masa itu telah terjadi 2 pemberontakan lokal yakni pemberontakan yang dipimpin oleh Kaka Dupa di wilayah Tana Dea 1907 dan pemberontakan Lejo yang dikenal dengan Lejo oorlog 1912 di bawah pimpinan Lewa Wula Kolonial Belanda yang lazim menerapkan sistem divide et impera membagi bagi dan menguasai di kawasan Keo menerapkan sistem yang dinamakan unifica et impera menyatukan dan menguasai Berhadapan dengan sikap non kooperatif dari masyarakat Keo dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan wilayah wilayah administratif berdasarkan kesamaan budaya bahasa dan organisasi sosial lokal maka pemerintah kolonial memperlakukan Keo sebagai bagian dari Nage sambil mendaftarkan semua kampung di kawasan Keo dalam wilayah Nage sebagaimana tertera dalam laporan kolonial tahun 1910 an Latar belakang dari usaha unifikasi Keo dan Nage ini adalah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif di kawasan Keo antara tahun 1908 hingga 1912 yang dipicu umumnya pemberontakan atas ketidakpuasan dalam hal pembayaran pajak dan sistem rodi kerja paksa Pada tahun 1913 setelah pemberontakan Sela Lejo sebuah rapat besar diadakan di kampung Wajo Dalam rapat itu Muwa Tunga dari kampung Kota terpilih sebagai administrator lokal sementara Muwa Tunga akhirnya menjadikan kampung Kota sebagai pusat distrik yang dikenal kemudian dengan nama Kota Keo Ketika situasi dan kondisi pemberontakan di Keo semakin mereda maka pada tahun 1915 pejabat kolonial A R Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu landschap distrik bernama Nage dan diperintah oleh Roga Ngole Pada prinsipnya usulan tersebut diterima baik oleh Belanda Namun dalam sebuah rapat di Boawae pada tanggal 8 April 1917 usulan itu tidak dapat disahkan oleh para pemimpin kedua wilayah baik dari Nage maupun Keo Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut maka pimpinan afdeeling Flores dan gezagheber Ngada dalam laporan yang ditulis pada 20 April 1917 no 798 15 menginformasikan kepada Residen Timor bahwa kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau landschap tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya Maka dengan dekrit pemerintah kolonial Belanda tertanggal 28 November 1917 no 57 Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator atau bestuurder yang juga telah diembannya sejak 1913 dan kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan 2 Pada 2 Maret 1918 disaksikan oleh gezagheber Ngada Muwa Tunga mengambil sumpah korte verklaring lalu ditandatangani olehnya dan oleh para saksi Di bawah kepemimpinan Muwa Tunga landschap Keo dibagi atas 10 hamente dan dipimpin oleh masing masing secundaire hoofden atau kepala mere Hamilton mendaftar ke 10 hamente dengan masing masing kepala mere sebagai berikut Tonggo dengan kepala mere Pua Mera Riti dengan kepala mere Goo Bhoko Lewa dengan kepala mere Aja Mbaa Wajo dengan kepala mere Aja Ari Wuji dengan kepala mere Mere Muku Pau Tola dengan kepala mere Ora Ari Kota dengan kepala mere Ego Ari Sawu dengan kepala mere Mite Ebu Lejo dengan kepala mere Tado Toyo dan Worowatu dengan kepala mere Seme Rau 2 Kendatipun yurisdiksi administrasi sementara telah diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda sesuai dengan lembaran negara yang selanjutnya menjadi satu wilayah administratif yang tetap dengan ibukotanya di Bajawa Belanda tetap saja berusaha merevisi kemungkinan untuk mempersatukan Keo dengan Nage selama dua dekade pertama masa pemerintahan kolonial di kawasan ini Usaha lain untuk mempersatukan kedua wilayah itu juga gagal pada tahun 1928 Tiga tahun kemudian unifikasi terjadi pada 26 Januari 1931 Swapraja Nagekeo terbentuk dan berlangsung hingga tahun 1950 2 Menurut informasi lisan dan catatan yang kurang lengkap yang diperoleh bahwa meskipun unifikasi menjadi swapraja Nagekeo itu berhasil namun eksistensi hamente Keo Tengah tetap berjalan dengan kepemimpinan beberapa kepala mere secara bergantian dan berlanjut secara berturut turut yakni kepala mere Goa Tunga Yosef Taa Frans Tua Bara Mikhael Bhebhe dan Felix Dhedhu Selanjutnya kesemua hamente ini dijadikan kecamatan Keo yang dimekarkan lagi menjadi kecamatan Keo Timur Nangaroro dan Keo Barat Mauponggo serta Keo Tengah yang berpusat di Maundai wilayah hamente Worowatu 2 Masa pemerintahan Indonesia sunting Menurut struktur administrasi modern wilayah Keo pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Ngada Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur tertanggal 22 Februari 1962 bernomor PEM 66 1 2 nama Keo pada awalnya tetap dipertahankan sebagai nama dari sebuah Kecamatan dari enam Kecamatan di Kabupaten Ngada Namun setahun kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang baru tertanggal 22 Juli 1963 bernomor PEM 66 1 32 kecamatan Keo dimekarkan menjadi 2 kecamatan yakni Keo Barat dengan nama Mauponggo dan Keo Timur dengan nama Nangaroro Lalu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur bernomor PEM 9 2002 sebuah Kecamatan baru bernama Keo Tengah dibentuk dengan wilayahnya mencakup 8 desa dari bagian timur Mauponggo yakni desa Keli Lewa Ngera Wajo Koto Wuji Timur Koto Wuji Barat Mbae Nuamuri Worowatu dan Witu Romba Ua serta ditambahkan dengan 3 desa dari bagian barat Nangaroro yakni desa Koto Diru Mali Lado Lima dan Pau Tola Lalu berdasarkan Undang Undang No 2 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo sejak peresmian Kabupaten baru itu kecamatan Keo Barat Keo Tengah dan Keo Timur beralih menjadi bagian dari Kabupaten Nagekeo 2 Populasi sunting nbsp Teluk Mauwelu bentang alam tempat persebaran suku Keo Menurut data Ethnologue tahun 2001 populasi suku Keo berjumlah 40 000 jiwa dan bertutur menggunakan bahasa Keo 1 Budaya suntingKain tenun sunting Artikel utama Kain tenun Nagekeo Masyarakat Keo dan Nage yang berkerabat dekat mempunyai tradisi menenun sama seperti suku suku lainnya di Pulau Flores pada umumnya 4 Orang Keo menyebut jenis jenis kain tenun tersebut dengan nama Dawo Nangge Duka Wo i dan Dawo Ende 5 Lihat juga suntingSuku Nage Kabupaten NagekeoReferensi sunting a b Inggris Suku Keo di Ethnologue a b c d e f g Tule Philipus 2021 Mengenal Kebudayaan Keo Dongeng Ritual dan Organisasi Sosial Kupang Indonesia Universitas Katolik Widya Mandira Diakses tanggal 4 Januari 2024 Parameter languages yang tidak diketahui akan diabaikan bantuan Ata Nagekeo Selain dari So a Ada Juga Kaum Pendatang floresku com 16 Mei 2023 Diakses tanggal 4 Januari 2023 Kain Tenun Nagekeo Nusa Tenggara Timur GPS Wisata Indonesia dalam bahasa Inggris Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020 04 14 Diakses tanggal 2020 06 06 Center INC PT Indonesia News Intip Keistimewaan Kain Tenun Ikat Nagekeo NTT inilahcom Diakses tanggal 2020 06 06 nbsp Artikel bertopik kelompok etnik ini adalah sebuah rintisan Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya lbs Diperoleh dari https id wikipedia org w index php title Suku Keo amp oldid 25170190