www.wikidata.id-id.nina.az
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Tidak ada alasan yang diberikan Silakan kembangkan artikel ini semampu Anda Merapikan artikel dapat dilakukan dengan wikifikasi atau membagi artikel ke paragraf paragraf Jika sudah dirapikan silakan hapus templat ini Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini Tanjung Merah adalah salah satu kelurahan di kecamatan Matuari Kota Bitung Sulawesi Utara Indonesia Tanjung MerahKelurahanNegara IndonesiaProvinsiSulawesi UtaraKotaBitungKecamatanMatuariKodepos95547Kode Kemendagri71 72 05 1001Kode BPS7172011001Luas km Jumlah penduduk1 849 jiwaKepadatan jiwa km Sejarah Tanjung Merah dan Bitung suntingDisusun dalam rangka Perayaan syukur Hari Ulang Tahun ke 189 Jemaat GMIM Eben Haezer Tanjung Merah Dokumentasi sejarah Tanjung Merah dan kota Bitung Mengingat jasa para leluhur dotu dan waraneij Tanjung Merah Melestarikan kampung Tanjung Merah menuju kampung cagar budaya Minahasa Ikhtisar Sejarah Negeri Tanjung Merah Kota BitungMenurut cerita yang dituturkan secara turun temurun wilayah Negeri Tanjung Merah sudah mulai dihuni manusia pada tahun 1810 Mulanya hanya sebagai pos pengintai untuk mengawasi kedatangan bajak laut Mangindano Mindanao Filipina Selatan yang disebut te dong orang jahat yang sering datang menjarah sumber daya alam dan mengganggu orang Minahasa di pemukiman pemukiman pesisir Terutama sekali untuk menghalau para bajak laut itu agar tidak sampai memasuki negeri Kema yang pada waktu itu merupakan bandar penting di pesisir timur Tanah Minahasa Tempat pengintaian itu sampai sekarang disebut Sondaken yang artinya mengintip atau mengintai Karena diberi tugas sebagai penjaga keamanan maka orang orang yang ditempatkan di pos pengintai itu terdiri atas Wadian pemimpin agama Tonaas pemimpin adat dan Waraneij prajurit perkasa Orang orang pertama yang dikirim adalah keluarga Wadian Tewu Tanod dari negeri Treman dan keluarga Waraneij Bugis Ibrahim Lengkong dari Negeri Tumaluntung Pada tahun 1811 1827 disusul pula oleh keluarga Rumbayan dari Negeri Kembuan Tonsea Lama keluarga Pongoh dari Airmadidi keluarga Kumentas dari Sukur keluarga Tangkudung dari Treman keluarga Mandagi dari Kaasan keluarga Toway dan Rumambi dari Tetey keluarga Siby dari Kauditan dan keluarga Katuuk dari Kema Setelah itu berdatangan pula beberapa keluarga antara lain keluarga Roti keluarga Wullur keluarga Siby keluarga Sompotan dan keluarga Ganda Keluarga keluarga tersebut membentuk pemukiman darat dena ditempat yang agak jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan dari laut Rumah rumah pada waktu itu berbentuk panggung yang dibangun diatas tiang kayu setinggi kira kira 3 meter Untuk naik dan turun dari rumah rumah ini digunakan tangga kayu atau bambu yang hanya disandarkan sehingga bisa diangkat hal ini memang disengaja karena kalau para laki laki dewasa pergi mengintai musuh atau mengadakan patroli maka yang tertinggal di rumah hanyalah kaum perempuan dan anak anak Dengan demikian apabila para te dong datang menyerang mereka orang jahat tidak bisa langsung naik ke rumah karena tangganya sudah diangkat Selain itu kaum perempuan dan anak anak dipersenjatai dengan tombak batu dan semacam alat semprot dari bambu yang diisi dengan air bercampur rica cabe Pada saat di tempat itu kian banyak orang dan situasi dirasa aman maka pemukiman penduduk dipindahkan agak ke tepi pantai dan sejak itu dinamakan Tana Rundang karena didekat pemukiman itu terdapat sebuah tumbuna tanjung yang tebingnya berwarna kemerah merahan Pada tahun 1827 Tana Rundang disahkan sebagai banua negeri melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua yakni Opo Nusa Opo Simedeman dan Opo Tindadas dari Laikit Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan pemimpin kampung panutan Setahun kemudian yakni pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu Menurut tutur cerita para te dong itu datang dengan menggunakan 4 pakata sejenis perahu yang masing masing membuat sekitar 150 orang Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana Da Tanah Darah Pertempuran itu merupakan arena perang paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah Itulah sebabnya sekalipun berhasil dimenangkan oleh orang Tana Rundang namun telah menimbulkan ketakutan berkepanjangan dikalangan penduduk bahkan ada beberapa keluarga yang langsung pulang ke negeri asal mereka dan tidak pernah kembali ke Tana Rundang Trauma ini telah melahirkan ungkapan sindiran satire khususnya di wilayah Minawerot yaitu Maan kine si wilasow masongkot nokan nang kure tana nyaku soo mo mawuri nan Tana Rundang yang artinya sekalipun ikan wilasow datang sendiri melompat di belanga saya tak sudi lagi kembali ke Tanjung Merah Pada tahun 1845 Negeri Tana Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua kepala keluarga yang dituakan tambahan nama Arnold adalah nama baptis dia seiring masuknya agama Kristen di negeri itu dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer Tanjung Merah dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Ketua Keamanan Nama Tana Rundang diganti menjadi Tanjung Merah walaupun dalam pergaulan sehari hari orang Tonsea tetap disebut Tana Rundang sampai sekitar tahun 1950an Penting untuk diketahui sebagai fakta perjalanan sejarah bahwa sekitar akhir abad ke 19 beberapa keluarga dari Tanjung Merah telah membuka areal perkebunan dan pemukiman baru ke arah Timur Laut yang dikemudian hari telah berkembang pesat menjadi sebuah kota pelabuhan dengan nama Bitung diambil dari nama pohon Bitung bahasa Tonsea Witung yang pada masa lalu banyak terdapat di sepanjang pantai daerah itu Mereka adalah keluarga Lengkong keluarga Siby keluarga Rotti keluarga Sompotan keluarga Ganda dan keluarga Wullur sekarang dikenal dengan keluarga Enam Dotu Selanjutnya setelah Bitung menjadi kecamatan Tanjung Merah dimasukan sebagai salah satu desa di dalam wilayahnya Demikianlah seterusnya seiring dengan perkembangan kota Bitung Tanjung Merah berubah status menjadi kelurahan ketika Bitung diresmikan sebagai kota administratif dan kemudian menjadi kotamadya Selain sejarah Tanjung Merah juga terjadi peristiwa peristiwa penting antara lain wabah penyakit Malaria tahun 1934 pernah dilanda banjir besar yang hampir meratakan seluruh pemukiman masa pendudukan Jepang banyak orang Tanjung Merah hampir dibantai tentara Nipon di Tasik Koki pergolakan PRRI Permesta rumah rumah penduduk termasuk gedung gereja musnah dibakar Adapun lokasi jalan utama Manado Bitung sebelum ada jalan baru yang melewati Sagerat adalah jalan yang melewati Kema Tanjung Merah pusat kota Bitung sehingga posisi kampung berada didepan jalan Manado Bitung sedangkan erfpacht perkebunan yang disewakan pemerintah Belanda kepada orang timur jauh dengan sebutan Domain Veerklaring tanah jajahan adalah tanah milik raja Belanda dahulu adalah hutan yang dibuka dan dijadikan perkebunan tumani oleh Tunduan Teterusan Tewu Tanod untuk kebutuhan hidup sehari hari para Dotu dan Waraneij posisi kebun berada tepat di belakang kampung Tanjung Merah sebagaimana perkebunan masyarakat Minahasa umumnya berada di belakang kampung Tentu saja hal ini mengingat kawasan pantai tidak aman disamping masyarakat Minahasa dikenal sebagai pekebun ulung Kendati demikian Negeri Tanjung Merah tetap ada hingga sekarang Tanjung Merah memang negeri para Waraneij dibawah pimpinan Tunduan Teterusan yakni kaum prajurit perkasa yang setia mengorbankan jiwa raga untuk mempertahankan hak dan martabat kemanusiaan khususnya di tanah leluhur Keteguhan para tumani Banua Tana Rundang itu barangkali bukanlah sesuatu yang perlu diagung agungkan namun paling tidak itulah bukti sebuah keperkasaan dan ketabahan yang patut dimiliki sepanjang generasi orang Tanjung Merah dimana saja berada Tanjung Merah adalah negeri tertua yang juga merupakan Tumani um Banua Bitung sehingga merupakan warisan sejarah yang patut dijaga dan dikembangkan bersama menjadi kampung cagar budaya Minahasa Tewu Tanod berdasarkan kisah kisah sejarah perang suku Minahasa kemungkinan adalah orang yang sama yang memimpin perang melawan Belanda yang dikenal perang benteng Moraya di Tondano tahun 1809 Daftar Hukum Tua Lurah Tnajung Merah 1827 2015 suntingTewu Tanod Treman 1827 1853 Ibrahim Bugis Lengkong Tumaluntung 1853 1875 R Tanod Treman 1875 1887 J Siby Tontalete 1887 1892 W Lampa Kauditan 1892 1894 T Ganda Kauditan 1894 1896 J Lengkong Tumaluntung 1896 1901 Ch Lengkong Tumaluntung 1901 1906 S Mawuntu Kema 1906 1911 A Kelley Kema 1911 1913 D Lengkong Tanjung Merah 1913 1918 BT Rumambi Tanjung Merah 1918 1924 A Rumawung Tanjung Merah 1924 1927 Dirk Lengkong Tanjung Merah 1927 1932 Welliam Katuuk Tanjung Merah 1932 1944 B Wullur Tanjung Merah 1944 1945 G Wuisan Tanjung Merah 1945 1950 B Lengkong Tanjung Merah 1950 1958 Ch Lengkong Tanjung Merah 1958 1961 Simon Angkouw Tanjung Merah 1961 1971 Bastian Dumanau Lilang 1971 1972 Jan Wullur Tanjung Merah 1972 1975 Marthen Ratumbanua Tanjung Merah 1975 1978 Hendrik Montung Tanjung Merah 1978 1984 Agus Siby Tanjung Merah 1984 1988 Harry F Rumawung Tanjung Merah 1988 1998 Julien Najoan Awondatu Girian Pelaksana 1998 2000 A Supit Bitung Pelaksana 2000 3 bulan Ruland Rimporok Manembo nembo 2000 2001 Fransisca A A Kulit Manado 2001 2004 Ruland Rimporok Manembo nembo 2004 2005 Darmun Lopus Sulteng 2005 2010 Ferdinand Katuuk Tanjung Merah 2010 sekarangReferensi suntingTugu nama nama hukum tua lurah dari tahun 1827 sekarang Dokumen sejarah gereja GMIM Eben Haezar Tanjung Merah Kuburan tua para turunan dotu dan waraneij Keterangan lisan para tua tua kampung Tanjung Merah Bukti dokumen pemerintah kelurahan Tanjung Merah Lokasi lokasi yang disebut sampai sekarang tetap ada di Tanjung Merah https m facebook com notes albert kusen perang tondano 1809 kisah heroik orang minahasa melawan pasukan belanda 400330743448 Diperoleh dari https id wikipedia org w index php title Tanjung Merah Matuari Bitung amp oldid 24342137