Kapitan Jonker adalah seorang pemimpin kelompok pasukan Maluku yang mengabdi kepada VOC. Ia terlibat dalam banyak pertempuran untuk membantu menegakkan kekuasaan VOC di Nusantara. Di akhir hayatnya, ia dikenai tuduhan berbuat makar dan tewas ketika kediamannya diserbu pada tahun 1689.
Kehidupan pribadi Sunting
Jonker berasal dari keluarga bangsawan Manipa di Maluku. Nama Jonker sendiri diperkirakan bukan nama asli, melainkan padanan gelar Tamaela yang biasa digunakan di Ambon pada zaman itu. Namanya tertulis dalam sebuah akte tahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa, menunjukkan kemungkinan bahwa ia berasal dari Pulau Manipa di Seram Barat. Awalnya ia berjuang keras melawan kekuasaan VOC. Perlawanan tersebut diperkirakan terjadi antara tahun 1634–1643, yaitu pada Perang Hitu II atau disebut juga Perang Wawane. Akan tetapi ia kalah, dan pasukan perlawanannya serta pasukan Raja Tahalele dari Pulau Boano menjadi tawanan VOC.
Memimpin peperangan Sunting
Sekitar tahun 1654, ia berada dalam pengawasan Arnold de Vlaming van Oudtshoorn, dan termasuk dalam bagian dari pasukan pimpinan Kapitan Raja Tahalele yang ditempatkan di Batavia. Saat itu, ia menjadi wakil Raja Tahalele, dan kemungkinan mulai menggunakan gelar raja muda, yang dipadankan menjadi jonkheer dalam bahasa Belanda. Saat memimpin pasukan Maluku dalam pertempuran VOC di Sri Lanka, Raja Tahalele terluka parah. Jonker diangkat menjadi pemimpin penggantinya, dan sejak saat itulah gelar kapitan mulai disandangnya. Setelah pertempuran tersebut, ia memimpin pasukan Maluku yang bermarkas di Batavia.
Kapitan Jonker terlibat di berbagai medan perang lainnya dalam membantu VOC, antara lain di Timor, pantai barat Sumatera, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang, dan Banten. Dalam salah satu pertempuran terakhirnya yang berlangsung selama tujuh tahun (1675–1682) melawan Trunojoyo, ia bahkan memimpin pasukan besar yang tidak saja terdiri dari orang Maluku, melainkan juga orang Makassar, Bugis, dan Mardijker. Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Sampai akhir tahun 1960-an, wilayah tersebut masih dikenal masyarakat dengan sebutan Pejongkoran.
Kematian Sunting
Setelah Gubernur Jendral Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan VOC di Batavia saat itu, yaitu Isaac de l’Ostale de Saint Martin. Jonker dianggap tidak bisa dikendalikan. Kekuasaan Jonker mulai dikurangi, dan seorang Kapitan Buleleng keturunan Bali yang bekas budak Jonker diperintahkan VOC untuk memisahkan kelompok perkampungan dari pasukan Jonker berdasarkan suku-suku mereka. Puncak konflik yang terjadi ialah pada tahun 1689, yaitu ia dituduh akan memberontak dan terjadinya pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Pejongkoran melawan pasukan VOC dan pendukungnya. Tercatat bahwa seorang Kapitan Melayu bernama Wan Abdul Bagus yang ditugaskan oleh VOC terluka parah dalam pertempuran tersebut.
Referensi Sunting
- Vink, Markus. "The World's Oldest Trade": Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century, Journal of World History - Vol.14:2, University of Hawai'i Press, June 2003.
- HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, Cet.2, Pustaka Panji Mas, Jakarta 1982.
- De Haan, F., Oud Batavia - Gedenkboek naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der stad in 1919, pp.228-229, Batavia, G. Kolff & Co., 1922.
- Arnold de Vlaming van Oudtshoorn pernah dua kali menjabat Gubernur Amboina, yaitu 1647 - 1651 dan 1654 - 1656.
- De Graaf, H.J., De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, Velp 1977.
- Bartels, D., In de schaduw van de berg Nunusaku, Utrecht 1994.
- Betawi Seabad Silam, Perlawanan di Pejongkoran 13 Mei 1903, artikel di Kompas Cybermedia, Rabu, 14 Mei 2003.
Pranala luar Sunting
- Betawi Seabad Silam, Perlawanan di Pejongkoran 13 Mei 1903 2009-02-23 di Wayback Machine., artikel di Kompas Cybermedia, Rabu, 14 Mei 2003.